Laman

Minggu, 27 November 2011

Demi-Mu (part I)

Aku pernah merasa sendiri seperti ini. Lampau sekali, aku tak mampu mengingat kapan waktunya. Tapi aku jelas pernah merasa seperti ini. Sejak kecil aku benci keramaian, benci udara yang menggelitik yang membuatku beku dan butuh penghangat. Aku selalu suka tempat sepi yang hangat, dan hanya ada aku disana. Sesepi apapun tempat yang ku singgahi, aku selalu merasa seseorang dekat denganku. Entah Tuhan, Ayah, atau Ibu. Aku juga suka ditinggal sendiri, lama. Sendiri membuat aku merangkai berentet-rentet angan yang sebentar ada didepan mata. Dan aku tak akan pernah jenuh melakukannya. Bermain dengan mimpi di dunia nyata. Mendamba setumpuk pucuk per pucuk kecil yang tak pernah menghasilkan gurat dikulit keningku. Aku suka sendiri, berangan didalam hangat.
Kau tahu aku sangat membenci luka segarispun kepada Ibu? Aku benci ada kecewa setitik yang membayang di lelapnya. Aku benci siapapun makhluk yang coba mengusik langkahnya. Aku sangat menyayangi Ibu. Entah kapan aku berani membisikan kalimat itu didepan Ibu. Aku malu. Aku gengsi. Aku benci ada yang mengusiknya, padahal akulah yang mengusiknya dari 15 tahun lalu. Saat tangiskulah yang menggangu istirahat petangnya. Saat muntahankulah yang mengotori bajunya. Dan yang paling kuingat, saat kebohongan demi kebohongan meluncur saja, atas nama 'aku sudah dewasa' atau 'aku ingin seperti teman-temanku'. Ya, Aku merasa dewasa. Aku merasa bisa menjaga diriku dari setetes hujan sekalipun. Dan... Aku menyesal atas itu.
***
Aku melihat Ibu, merebahkan kepalanya diatas meja. Make-upnya berantakan. Kantung matanya membesar, membiru, dan jatuh. Aku tak tahu percis apa yang membuatnya selemah itu. Beliau jarang cerita tentang dirinya dan apa yang Ia rasakan. Aku mengelus pundaknya pelan. Tak ada respon apapun. Mungkin beliau kurang istirahat belakangan ini. Menjaga seorang diri yang berbaring di atas kasur putih. Dia tertidur dari siang. Saat teman, kekasih dan keluarga besarnya berada disini. Dan sampai mereka kembalipun, dia masih tertidur. Tak bergerak sedikitpun. Aku juga binggung kenapa dia sampai selelap itu ditidurnya. Tubuhnya banyak dimasuki selang. Dia keliatan lemas. Aku tahu dia bosan tidur, tapi aku tak berani membangunkannya. Jadilah dari siang aku mengamati pergerakannya. Nyatanya nihil. Kau tahu? Dia mirip sekali dengan aku!
Pagi ini aku hanya ingin susu hangat yang biasa Ibu buatkan. Tapi ibu malah tetap menjaga seorang mirip aku itu sambil meneteskan air dari matanya yang merah. Dari kemarin siang, Aku tak sedikitpun merasa lelah, lapar, ataupun mengantuk sedikitpun. Aku bisa terus melebarkan mataku tanpa perih sedikitpun disekitar bolanya. Aku mendekat disebelah Ibu. Membungkuk sedikit dan mengamati seorang yang aku kira ini kembaranku. Dia benar-benar menjaga dirinya. Tak bergerak sesentipun dari awal Dia terlelap. Aku curiga dia tak mampu membuka matanya. Padahal aku benar-benar ingin tahu dia siapa, dan sungguh aku ingin membunuhnya selesai kami berjabat tangan karena membuat Ibu selemah ini. Dan, akupun duduk lagi disofa panjang di depan jendela besar. Kamar rawat ini sungguh membosankan. Hanya tersedia sofa panjang, dua buah kursi, meja panjang, dan kamar mandi. Lampunya ada lampu baca kuning yang sangat menyilaukan. Ibu baru saja mematikannya, dan membuka gorden selebar-lebarnya. Membuat fajar terasa sangat kental diruangan pikuk ini. Sekarang jam 11 pagi. Ibu terus saja duduk dikursi disebelah kasur setelah kegiatan kecil yang beliau lakukan. Tadi beliau membasuh mukanya dan duduk lagi. Lalu beliau mengecilkan suhu AC, menyelimuti 'kembaranku' dan duduk lagi. Dan baru saja beliau minum seteleguk air putih dan duduk lagi. Duduk, diam, dan menangis. Hal itu membuat aku mengurungkan niatku untuk menyapanya pagi ini. 
Sekarang jam 13.00, Aku masih duduk di sofa. Sedikit risih dengan orang-orang yang sangat ramai diruangan ini. Ada bapak-bapak berumur setengah abad memakai kaca mata. Banyak anak seumuranku memakai seragam rapih. Dan ada seorang laki-laki berumur lebih muda daripada laki-laki berkaca mata sebelumnya. Beliau mirip dengan 'kembaranku' dan tentu saja aku. Mereka semua siapa akupun tidak tahu tapi jelas, aku pernah melihat mereka. Entah kapan. Tapi sungguh, aku pernah merasa berbincang dengan mereka satu persatu. Mereka diam, memandang ‘kembaran’ku dengan raut yang sangat menyedihkan. Aku lihat beberapa dari mereka meneteskan air mata dan berpeluk. Mereka menyebut nama ‘Shera...’ ‘Shera...’. Kedengarannya tak teralu asing. Aku kurang lebih pernah mendengar nama itu. Tapi aku tak ingat kapan dan dimana. Ahhhhhh sungguh, aku benci menjadi pelupa seperti ini. Aku masih mengamati raut mereka yang bersedih. Yang laki-laki masih tetap diruangan ini. Semua perempuan keluar sambil terisak. Ya, semua kecuali perempuan yang duduk disebelahku. Aku mau berkenalan dan menanyakan ada apa, tapi raut gelisahnya mengurungkan niatku. Aku bangkit. Berjalan sendiri keluar ruangan yang pikuk itu dan menuju ruang tunggu. Ternyata perempuan sebayaku yang keluar tadi sedang berkumpul disini. Jumlahnya ada 12 orang. Ada yang duduk, dan berdiri. Aku mendekati dua orang yang saling berpelukan erat. Sama-sama meneteskan air mata deras. Aku berdiri disamping mereka. Aku tak kuat lagi mengurungkan niat hanya untuk bertanya ada apa disini. Tapi lagi-lagi niatku terhenti. ‘Shera Cuma koma, Dis. Dia pasti bakal main lagi sama kita dan yang lainnya. Lagi juga dia tadi senyumkan. Lo liat kan?’ kata perempuan berkerudung. ‘Gue gak percaya Shera bakal sakit kayak gini Din. Gue sayang Shera.........’ jawab perempuan di pelukannya. Shera koma? Siapa dia? Dengan sedikit kesal, aku mendekati perempuan yang sedang berbincang lemas dengan seorang lelaki yang matanya juga bengkak. Aku berlaga sok cool berdiri percis disamping mereka. ‘gue tau Shera kuat Van. Jadi kita juga harus kuat buat dia. Lo harus nemuin dia sekarang, dia pasti nunggu lo Van.’ Suara cempreng dari perempuan yang dikuncir satu ini. ‘gue...... belum bisa. Shera pasti Cuma butuh istirahat dan dia gak bakal kemana-mana. Kita tunggu disini aja ya sampe dia sadar.’ Suara berat menjawab. ‘Van, Shera koma. Sehari. Itu gak cukup ngebuat lo mau nemuin dia setelah kemarin? Ajak Shera ngobrol apa aja yang mau lo ceritain. Tentang lo di sekolah, tentang temen-temen lo, tentang apa aja yang biasa kalian bicarain. Please Van’ suara cempreng itu berubah memelas. Ah! Seperti sinetron saja! Si lelaki bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah ruangan ‘kembaran’ku. Aku membuntutinya dengan sangat hati-hati. Lelaki yang dipanggil Van itu langsung mendekati ‘kembaran’ku disisi kasur. Ibu, dan yang lainnya langsung menjauh, duduk di sofa panjang dan sebagian yang lain ada yang keluar termasuk laki-laki berkaca mata. Dengan cueknya aku berdiri disebelah lelaki dan membungkukan sedikit badanku. ‘Sher.’ Panggilnya. Tangannya mengengam tangan ‘kembaran’ku dan mengusapnya hati-hati. ‘Shera bangun gih. Udah siang. Kita sholat dzuhur dulu yuk.’ Hening. ‘Sher, cerita dong.’ Suaranya makin berat. ‘Ivan aja deh yang cerita ya.’ Masih hening. ‘hmm.. kemarin Ivan lomba futsal ngewakilin kelas. Kelas kita menang. Ivan masukin 4 goal dan Ivan jadi top score kalo digabung sama goal-goal kemarin.’ Lelaki itu namanya Ivan. Dan Ivan sekarang menitikan setetes air diujung matanya. Ivan mengelap air matanya. Melihat langit-langit kamar rawat kemudian menarik nafas panjang menatap lagi sosok didepan matanya. ‘tapi lomba kemarin ada yang kurang, Sher.’ Keluar lagi air dari ujung matanya, setetes. ‘Kurang Shera di pinggir lapangan. Kurang suara Shera neriakin Ivan. Kurang Shera ngelapin keringet Ivan. Kurang Shera, Sher. Kurang Shera.’ Air matanya tak terbendung lagi dan Ivan menangis dalam diam. Hatiku mencelos. Entah mengapa aku hangat. Aku merasa terhanyut tanpa air mata. Aku hangat. Hangat. Kemudian ‘kembaran’ku itu tersenyum. Tersenyum segaris lalu datar lagi. Ivan memanggil Ibu. Dan yang lainnya pun mendekati kasur. Mereka terlihat bahagia. Semenit, dua menit, tiga menit, sampai setengah jam. Tak ada lagi pergerakan dari ‘kembaran’ku. Ibu dan yang lainnya kembali menjauh. Duduk lagi di sofa panjang. Tertinggal aku dan Ivan disisi kasur. Ivan tersenyum lagi. ‘Sher, Ivan mau ngajak Shera kencan lagi. Kencan kita yang kedua. Hehe’ suaranya lemah beriringan dengan tangis bisu. ‘Tapi sekarang Ivan mau pulang dulu ya. Udah sore. Besok kita kencannya.’ Suaranya kembali berat. ‘Ivan pulang dulu’ Ivan tersenyum. ‘Inget, besok kita kencan. Pake baju yang rapih, dikuncir rambutnya, terus pake kacamatanya.’ Kata Ivan setengah terbata. ‘dadah Shera. Ivan pulang yaa. Ivan sayang Shera’ katanya terakhir sebelum bangkit dan keluar kamar rawat sambil menunduk, menangis. Perasaanku hangat. Mencelos lagi seperti kehilangan sosok yang baru saja beringsut menjauh. Sekarang aku tahu sesuatu. Tubuh lemah dikasur itu.................... Aku’