Laman

Jumat, 22 Juni 2018

Sadako Sasaki


Sembilan belas hari
Pagi kedua bulan Mei
Pagi yang buatku tahu bahwa rindu bisa semenohok ini.

Hanya perihal rindu, ceritanya.
Malah bawa aku jauh di mimpi bertemu lagi denganmu.
Tentang seorang wanita, yang berkeringat dahinya, dan dikuncir kuda rambutnya.
   Lari terpogoh mengejarku demi menyupi bubur, di dua tahunku.
   Atau basah juga dasternya karena cuci seragam sekolah, di sepuluh tahun umurku.
   Atau lain seperti pelukku ketika pemberitahuan kelulusan studi SMA ku, tiga tahun lalu.
   Juga memori-memori yang suka mampir dan menggelitik pelupukku,
   sampai teriakku, tak lagi kudengar.

Harapan akan kembalimu kadang suka buatku percaya pada seribu origami burung bangau
Yang bisa kabulkan mimpi seseorang, Sadako Sasaki tokohnya.
Terdengar irrasional memang.
Tapi mimpi kadang suka bawamu ketempat yang semu;
     Terpojok disudut ruangan,
     dan gemetar karena menangisi rindu, misalnya.

Kepergian (1)

Aku suka tanya 'Apa warna langitmu?'
Lalu kau diam sebentar (ku yakin kau pasti mendongak), dan menjawab warna yang sama seperti langit punyaku.
Akhirnya aku selalu percaya,
tujuh atau delapan, atau tujuhbelas tahun lagi,
atap kita tetap sama;
sejauh apapun aku mencoba pergi dengan tiketku.

--

'Oranye'
'Kesukaanku!' Dan aku kegirangan ditempatku.
Kamu tertawa geli, yang juga kesukaanku.
Dan kamu harus tahu, pada akhirnya, bila punyamu biru cerah dan punyaku semu abu, itu tak mengapa.
Kadang langit memang suka tak sependapat.
Pun kita,
pada akhirnya.

Kepergian

Meski kamu menolak,
kali ini aku tetap memaksa.
Coba tanya kenapa?
Mungkin setelah musim gugur ketujuh,
aku bisa lelah juga,
hatiku bisa mati juga.

Tolong biarkan aku untuk kali ini.
Aku mohon..
Bisakah kali ini aku pergi dengan tiketku tanpa koper dan ngilu?
Kali ini aku sampai memohon..
Bisakah aku pergi?

Aku tahu kamu sudah tidak butuh,
tapi menahanku, berusaha terlihat bersalah.

Nyatanya tidak.
Koreksi aku kalau salah.