Laman

Kamis, 15 November 2018

Hai, lagi.

Kopi kedua hari ini,
Jadi favoritku kini, Caramel Macchiato.
Kamu, bisa jadi bukan satu-satunya orang yang heran dengan kegemaranku kini.
Banyak hal terjadi dan berjalan tidak sesuai buku agenda yang selalu kubawa di tasku.
Pertanyaan 'Mengapa perempuan suka pergi membawa tas yang sedikit besar?', mungkin jawaban sepertempat dari mereka, karena si buku itu.
Atau mereka membawa hati yang lebih besar untuk menggantinya bila hati yang terpasang sudah membiru, siapa tahu? Perempuan kan, begitu.

Hai,
Apa boleh aku masih merindumu?
Menitik sendu pada hujan ditengah kerumun orang berbincang dikedai berlambang dewi. Perciknya membasahi dinding kaca disebelah kananku. Kamu pasti lupa tempat ini. Entah hari senin yang mana, yang (ternyata) masih jadi inspirasi satu dua puisiku. Entah jawaban yang mana, yang buatku menggeleng ketakutan meronce ingatan di malam itu. Di hari (entah) senin yang mana di kedai kopi berlambang dewi, dan hari ini aku sendiri. Bertanggungjawab memesan dan menghabiskan sendiri gelas Venti-ku.

Hai,
Apa kamu masih orang yang sama?
Yang bisa membuatku marah dan bergetar keriangan pada satu waktu?
Apa aku masih boleh membacamu? Menerka-nerka sesuatu yang sedang ku lakukan tapi tidak kau sukai, dan memaksakan tubuhmu untuk tetap melakukannya karena kamu bukan tidak bisa menolak, tapi memang sedang tidak ingin.

Karena aku masih ingat, semua yang kau lakukan hanya perihal inginmu saja.
Menyebrangi pulau, berkuda ketempat-tempat ramai, terbang ketempat yang dingin, atau membuatku berkendara kesini karena bila diperbolehkan aku mau merindukanmu, sekali lagi.

Rabu, 11 Juli 2018

Oke, ini keterlaluan.
Tapi aku baru tau kalo bisa memposting entri baru via telepon genggam.
Jadi..sering-sering mampir ya!
Siapa tau kamu menemukan kata yang tepat untuk hatimu yang patah.
Siapa tahu?

Jumat, 22 Juni 2018

Sadako Sasaki


Sembilan belas hari
Pagi kedua bulan Mei
Pagi yang buatku tahu bahwa rindu bisa semenohok ini.

Hanya perihal rindu, ceritanya.
Malah bawa aku jauh di mimpi bertemu lagi denganmu.
Tentang seorang wanita, yang berkeringat dahinya, dan dikuncir kuda rambutnya.
   Lari terpogoh mengejarku demi menyupi bubur, di dua tahunku.
   Atau basah juga dasternya karena cuci seragam sekolah, di sepuluh tahun umurku.
   Atau lain seperti pelukku ketika pemberitahuan kelulusan studi SMA ku, tiga tahun lalu.
   Juga memori-memori yang suka mampir dan menggelitik pelupukku,
   sampai teriakku, tak lagi kudengar.

Harapan akan kembalimu kadang suka buatku percaya pada seribu origami burung bangau
Yang bisa kabulkan mimpi seseorang, Sadako Sasaki tokohnya.
Terdengar irrasional memang.
Tapi mimpi kadang suka bawamu ketempat yang semu;
     Terpojok disudut ruangan,
     dan gemetar karena menangisi rindu, misalnya.

Kepergian (1)

Aku suka tanya 'Apa warna langitmu?'
Lalu kau diam sebentar (ku yakin kau pasti mendongak), dan menjawab warna yang sama seperti langit punyaku.
Akhirnya aku selalu percaya,
tujuh atau delapan, atau tujuhbelas tahun lagi,
atap kita tetap sama;
sejauh apapun aku mencoba pergi dengan tiketku.

--

'Oranye'
'Kesukaanku!' Dan aku kegirangan ditempatku.
Kamu tertawa geli, yang juga kesukaanku.
Dan kamu harus tahu, pada akhirnya, bila punyamu biru cerah dan punyaku semu abu, itu tak mengapa.
Kadang langit memang suka tak sependapat.
Pun kita,
pada akhirnya.

Kepergian

Meski kamu menolak,
kali ini aku tetap memaksa.
Coba tanya kenapa?
Mungkin setelah musim gugur ketujuh,
aku bisa lelah juga,
hatiku bisa mati juga.

Tolong biarkan aku untuk kali ini.
Aku mohon..
Bisakah kali ini aku pergi dengan tiketku tanpa koper dan ngilu?
Kali ini aku sampai memohon..
Bisakah aku pergi?

Aku tahu kamu sudah tidak butuh,
tapi menahanku, berusaha terlihat bersalah.

Nyatanya tidak.
Koreksi aku kalau salah.

Selasa, 15 Mei 2018

Aku tinggal dikota kecil bernama lara.
Pagi rintik, dan sepanjang hari hujan lebat.
Kesalahanku adalah berjalan diluar tanpa pelindung di kulitku.
Bila hujan asam, aku pun.
Bila hujan es, aku pun.
Bila hujan abu, mungkin aku pun.

Aku tinggal dikota kecil bernama lara.
Yang hanya aku didalamnya.
Setiap hari aku mengigil hebat, sendirian.

Penulis biasanya,

Penulis biasanya,
memesan coklat panas, atau cafein dengan konsentrat tinggi,
duduk memojok yang kursinya sedikit empuk lalu membuka microsoft word-nya.
dan mematung lama, sampai minumannya habis lalu jarinya mulai bergerak-gerak diatas tuts huruf.

Penulis biasanya,
membuka kamus bahasa yang tebalnya tiada kepalang,
lalu berusaha menemukan kiasan yang tepat untuk lukanya.

Namun bila tak biasa, boleh kah aku?
Penulis yang tak biasa,
aku (yang sebenarnya bukan siapa-siapa),
mencari kiasan yang tepat untuk gelitik diperutku.
yang kadang mereda pada siang hari.

Dan bila menjadi tak biasa,
haruskan aku tidak menuliskannya?
dan berfikiran langsung menyelesaikannya saja tepat setelah tanda titik.