Laman

Kamis, 09 Februari 2012

Luka.

Aku melukai lagi diriku sendiri dengan asa yang aku buat sendiri. Aku tak menyalahkan adamu disini. Tapi entah mengapa mengingatmu aku luka. Bagai teriris dengan ingat tawamu. Kau tahu alasan aku mengaggumimu di awal karena tawaku-kan? Ya. Tapi sekarang tidak. Ingat tawamu malah berkelibat luka yang hadir. Sedih, dan aku menenggelamkan kepalaku sambil menitik air diujung mata. Sungguh sedih. Barusan saja aku lihat tawamu sangat hangat. Aku ingin lari memelukmu saat itu juga. Tapi entah... ada yang lain saat aku lihat sorot mata ditawa hangatmu itu. Kau...berhadapan dengan dia! Dia yang aku sangka telah sirna dimakan cinta padaku. Dia yang aku kira telah pergi dari persinggahanmu. Dan maafkan aku memergokimu merangkai lagi masa lalu yang belum tuntas. Maaf aku dulu hadir saat cerita kau dan dia yang belum usai. Maafkan aku atas hadirku. Itu semua karena kau yang mampu membuatku bertekuk litut memuja. Izinkan sekarang aku pergi kalau memang tempatku telah terisi (lagi) dengan seorang dia.

Jumat, 03 Februari 2012

'Aku-Kamu'

Aku mau jadi tongkat yang topang saat rapuhmu. agar kau tak berdebum menyentuh tanah, jelas. kau bisa genggam aku erat-erat dengan jemari lemahmu. kau bisa tekan aku sampai butiran pasir melubang. Jangan pergi........... aku bisa jadi serat hangat tissue yang menghapus lembut air di ujung kelopakmu. menangislah tersedu. akan aku hilangkan bekasnya. Kamu punya aku. seorang yang bisa kau bawa ke lelapmu. membuatmu tersenyum disana, tertawa disana. aku bisa juga buatkanmu hangat saat suhu se-es sekalipun. aku... bisa sediakan bahu untuk tempat kau melepas gundah sekalipun. aku bisa jadi..... pendengar cerita konyolmu. sungguh aku bisa jadi apa yang kau pinta. aku benar-benar akan selalu ada, ada menjaga tubuh tegapmu dari setetes gerimis sekalipun. makannya jangan bergerak selangkahpun menjauh. aku takut ada yang lebih hangat dariku.

Pantai

kapan lagi kita berjongkok memandang matahari yang mau terlelap?
diatas milyaran butir pasir.
di udara yang menggelitik
kau ambil derit ranting pinus di serong kanan belakangmu.
mematahkannya jadi dua dan satunya diberikan padaku.
'Tulis apa saja disini.' katamu menunjuk pasir yang melengket pada bumi.
'Entahlah. Kau mau aku tulis apa?' kataku sambil menyibak rambut yang telah menggulung basah.
'Biar aku yang nulis yaa.' Dan kau pamerkan deret gigi putihmu dan memalingkan muka.
menekuni pasir yang mulai melubang membentuk.
'AKU TUNGGU KAMU DISINI, 10TAHUN LAGI'
lalu kau menaruh derit kasar yang kau genggam. dan mencium dahiku.
lalu kau tarik pergelangan tangan kirimu.
lari-berpegangan. sambil tertawa renyah.
menantang air garam layaknya sang dewa.
Aku masih mengingatnya.