Laman

Sabtu, 24 September 2011

asa untukmu

seperti yang ku bilang
kau serupa dengannya.
dan itu bukan lagi alasan
mengapa sekarang aku melirikmu.
melirik,
tersenyum,
dan melompat girang saat punggungmu menjauh

berusaha mengenyahkanmu dari bunga tidurku.
takut asa itu berubah makin jadi
nyatanya?
NIHIL!
aku makin merindukan esok.
melirikmu lagi,
tersenyum lagi,
melompat lagi!
Dan aku cukup dewasa untuk tahu apa yang sedang aku rasakan!

kenapa bukan aku?

jangan tersenyum sambil melirikku
itu sangat menyakitkan.
membuat duka makin pekat

kau tahukah?
melihatmu tertawa adalah perih
mengapa bukan aku yang membuatnya?
mengapa bukan aku yang menikmatinya?
tak pantaskah?
teralu rendahkah?

siapa kau

Aku..
seorang pemuja sang nyata,
yang hanya hadir dipejaman mata
jauh di muka sang waktu,
kau fana.

Kau..
seorang dewa cinta
beringsut pergi dari satu hati
ke pemilik hati lain
 tak tahu betapa rapuhnya korban hatimu
mereka mengiba mengharapkan kembalimu
yang teriba malah menghilang
dimakan ego
dirajuk nafsu

Sabtu, 17 September 2011

waktu silam

Memandangmu
Banyak menguap
Bercerita tentang mimpi
Sebuah bayangan kita waktu mendatang

'Jangan biarkan itu teralu lama' bisikmu
Aku mengangguk
Kau menggengamku
Dan tersenyum, sangat bahagia.

Disini lagi...

Mengenangmu
Tertawa renyah
Bercerita tentang mimpi
sebuah bayang yang tak akan terjadi

'Izinkan aku bermimpi sendiri' batinku
Mataku terpejam, mengharu
kini kita mewujudkannya masing-masing
lalu aku tersenyum, menghadap langit
DUSTA!

dibawah rindang, dimuka pertigaan.

Ditempat ini,
kita pernah bersama
menunggu hujan reda
biarkan makhluk berlalu-lalang
mendekat-bergabung-menjauh
semua sibuk urus jemarinya

Kita berdua,
dibawah rindang
yang jatuhkan air setetes
Gelap. Dingin.
biarkan petang beringsut
acuhkan udara bersiul

Masih disini,
menunggu bulan bekerja lagi
Lama.
Denganmu.

sadarkah?

Teman, kau tahu mengapa aku masih disini?
hiraukan terik, abaikan hujan.
untuk siapa?
seorang kamu.
dan masih patutkah aku?
dengan sang putri bersanding disampingmu
bercumbu didepanku
mematut dipandanganku
hanya memalingkan muka
sambil teriris, aku tersenyum pahit.
biarkan pedih tak nampak dimata sayuku

aku menangis ditampatku! lihatkah?
Ya, tanpa air mata dan teriakan merintih,
menahan pilu.
seharusnya kau sadar itu!
tapi membuatnya tersenyumlah yang tetap kau lakukan!
tak apa.
aku masih menunggumu menatap lurus kedepan
ada seorang pecandu,
berharap kau kembali.
merangkai lagi
bermimpi lagi.

Kamis, 08 September 2011

Dibawah sakura

Dibalik tinta pekat,
Biarkan aku goreskan cerita tentangmu
yang menggigil akibat akibat asap

Sore itu..
Aku lihat siulet tegap berjalan lesu. Melemahkan pandangan sejenak ke arahku, lalu pergi lagi.
Aku ikuti langkah lebarmu. Berjalan lurus kedepan tanpa berbelok. Kau injak daun apa saja yang halangi jalanmu. Salah apa mereka? Lalu langkah itu makin jauh. Harus berlari kecil aku menyamainya. Kau tetap berjalan lurus. Menunduk. Dan aku dibelakangmu.

Sudah nyaris petang dan jalanmu masih sama, lurus kedepan. Ah! Itu dia! Depanmu hanya ada sakura gugur dengan kanannya lampu tanah berbaju kuning. Dimana kita? Taman. Tempat awal kita temu sorot, lima bulan lalu. Kau berbalik. Aku terlonjak kaget menyubit keras jemari didepan bokongku. Berharap kau tak tahu aku 'Seorang menguntitmu'. Tapi.... salah! Kau mendekat. Ciptakan nafas yang wangi didekatku. Lalu.. kau ucapkan maksut hatimu. Aku terlonjak. berusaha menjauh tapi sayang sekitarku tak bersahabat. Ini teralu indah, Tuhan..
Tolong jangan akhiri hari ini, dibawah Sakura..

Sabtu, 03 September 2011

cerita tentangmu

Aku menulis lagi,
Bagian tentangmu yang hilang sedikit demi sedikit. Berharap cahaya aurora tetap menyimpannya meski semua nyatanya jauh dari masa depan yang akan aku lewati. Ini mimpi yang aku bentuk dengan magnet egoku. Aku sungguh tak menginginkannya masuk lagi, teralun lagi dalam simfoni dibawah mata yang merapat. Tapi apa daya, cerita itu muncul lagi, lagi-lagi muncul..

'Septa hardini' teriak Bu Vera mengabsenku. Aku angkat tangan. Lalu rebahan lagi di meja kelas. Malas.
'Sudiro Cahyo Fauzan' lagi-lagi Bu Vera mengabsen. Yang punya nama angkat tangan tanpa menoleh sedikit ke Bu Vera. Cahyo sedang bermain pensil dengan teman belakang bangkunya. Ini minggu kedua kelas biologi. Jadi bebas saja mau berbuat apa. Jadwal kelas Biologi kelas kami memang sangat kacau. Minggu pertama di Lab. Minggu kedua dikelas, setelah Bu Vera absen, dia langsung pergi lagi mengajar di Universitas Ahmad Yani. Menjadi dosen teknik mesin. Lalu minggu ke tiga dan keempat kembali lagi ke Lab untuk praktek. Semenjak perubahan jadwal, kelas kami tak lagi mendapat kelas Biologi teori. Padahal apa gunanya praktek kalau teori yang dasar saja tidak tahu. Jadilah hanya kelas kami yang buta benda saat kelas Biologi di Lab berlangsung. Bu Vera sampai kewalahan saat beliau menyuruh murid untuk mengambil termometer air dan udara. Beliau harus menerangkan dulu dikit demi sedikit teori yang seharusnya diajarkan saat jam praktek.
Aku lirik Cahyo sekali lagi. Masih berkutat dengan pensil kesayangan miliknya. Dia memang selalu menang saat permainan bodoh itu. Aku lupa namanya, Cahyo pernah cerita. Tapi aku lupa. Ini kamis yang sangat terang. Sedikit mendung hingga terik enggan berkerja dengan baik. Jadi aku memutuskan keluar kelas dan berjalan ke kantin sekolah, sendiri. Aku malas berteman dengan teman perempuan kelasku ini. Mereka senang membicarakan boyband yang akupun tak pernah dengar sedikitpun nama personilnya. Dan berkumpul dengan mereka adalah mimpi burukku.
Aku berjalan sendiri ke kantin sekolah. Berjalan menunduk sambil menendang-nendang kerikil kecil yang menghalangi jalanku. Ini hari kedua hari Raya Idul Fitri, baju yang kami kenakan berbeda-beda tiap kelasnya. Kelas XI IPA2 tahun ini memakai baju warna hijau tosca bebas. Ah aku jadi ingat Cahyo! Penampilannya hari ini sangat tampan. Memang tampan sekali dari dulu. Itu salah satu alasan aku menyayanginya seperti ini. Kantin masih sepi karena jam pelajaran belum berakhir. Aku membeli jajanan dan duduk sendiri dipojokan kantin, menunduk. Memperhatikan jajanan yang ku pegang. Aku tak lapar. Tapi entah mengapa hatiku sangat risau sekali siang ini. Melihat Cahyo tertawa lepas dengan teman-temannya membuat beban yang sangat mendalam. Ada apa pun aku tak tahu dan aku benar-benar tak mau tahu. Sembari menatap lekat-lekat jajanan yang aku makan, dibalik jajanan tersebut, terlihat sepasang sepatu hitam-putih yang sangat aku kenal bentuknya. Terlihat sedikit tak jelas dan sedikit buyar. Aku mendongak. Cahyo menyengir memperlihatkan muka lugunya. 'Ngapain nge-galau buuuu?' 'ga.' Bola dari lapangan mendekat ke arahnya dan Cahyo sedikit berlari sembari menendang bola ke arah lapangan. Aku ditinggalnya sendirian.
Bel pelajaran terakhir. Fisika.
Aku duduk bersama Suci, anak terpintar satu angkatan. Meminta ia mengajariku sederet soal fisika yang genap dua kali aku ulang ulanganku yang mendapat nilai tak luput dibawah rata-rata. Hampir satu jam berlalu, masih dengan suci dan masih dengan satu soal yang sedari tadi Suci ulang berkali-kali menjelaskanku. Hatiku tak lagi ada di soal itu, coretan Suci, Kata-kata Suci. Buyar. Aku rebahkan kepalaku diatas meja. memandang kurus kedepan. Cahyo. Dia tersenyum kearahku, lalu kembali lagi menjagari Ila soal fisika. Cahyo memang pakar Fisika sedunia. Ada yang aneh di senyumnya. Ada yang aneh rasanya tiap aku melihatnya. Dia satu ruang denganku. Didekatku. Merasa atmosfer yang sama sepertiku. Tapi rasanya dia jauh.. Tak lagi bisa aku gapai. Senyumnya terasa tidak terarah padaku.

Dan.. saat aku tersadar,
Aku menyadari betapa hinanya aku dikendalikan alam bawah sadarku. Bodoh!
Terpikat dengan hal fana yang sebenarnya tak boleh lagi singgah dihati perihku. Tentang kamu, tentang kita, tentang cinta yang merusak grafitasi bumi. Aku tahu kini rasa aneh apa yang hinggap tiap melihat matanya. Perih. Iya benar Ia tersenyum, tapi senyumnya bukan untukku. Iya, memang benar dia didekatku tapi rasanya terpisah jarak yang sangat jauh. Aku seharusnya sudah terima kenyataan yang sesungguhnya lebih pahit daripada mimpi yang sedetik lagi terlupa...
Dia tak lagi bernafas untukku.
Kita sudah berbeda sejak awal dan kami telah terpisahkan.
Aku harusnya sadar itu..