Laman

Selasa, 20 Desember 2016

3-5 detik

Juga kilasan balik, ingatan 3-5 detik yang kilat. Percakapan sepasang anak SMA sepulang sekolah.
"Kenapa musti Laras, Waz?" sambil ku letakkan dagu di pundaknya. 
"Hahaha kenapa ya.." duh, dia malah tertawa. 
"Kenapa?" ulangku sambil senyum-senyum. 
"Gue gak pernah ngerasa senyaman ini" jawabnya. 
Dan ia memelankan laju motornya. 

Malu-malu dengan jawabannya, efeknya ternyata sampai sekarang. Ingatan 3-5 detik yang indah.
Dan mungkin pertanyaanku lain, yang lagi-lagi ia jawab dengan kupu-kupu di perutku---menahan bahagia---.

Rabu, 14 Desember 2016

Yang tak berjudul, tapi telah selesai

Pulangnya aku di malam dihari keenam,
Tersenyum aku tak habis-habis.
Memeluk erat ingatan, kau tertawa renyah berkat si anak kecil yang jatuh dan tumpah semua popcorn di tangannya.

Di hari dimana bucket bunga di ruang tamu rumahku,
Bahagia aku tak henti-henti.
Seperti hayalan, manusia terbaik sedunia menemani di 17 tahun umurku.

Di penghunjung dua ribu enam belas ini,
Malah yang buatku sesak merinding yaitu pertanyaan "mengapa" dan "bagaimana bisa terjadi" yang takut-takut kau jawab.

Dan hari minggu tepat di bulan ke duabelas,
Pujaku kepadamu,
Terhenyak meluntur tiap detiknya, tiap menitnya.
Mereka yang tadinya membiusku dengan memori tentangmu, melangkah mengendap sampai aku tak tahu kamu pernah ada, sebaik itu, setulus itu.

"Apa iya dulu sosok indahmu pernah ada?"

Rabu, 02 November 2016

Hello, 5!

November lagi.
Padahal aku tak pernah bermimpi mengulangnya,
hingga kali kelima.
Tapi, hehe terjadi juga,
senyum juga malah tak habis-habis.

November lagi.
Yang membawa ujung pipiku memerah.
terus memerah, memuncah, aduh...merinding aku.
Mengingat terus,
Ternyata aku mampu mencintai tiap hari?
Tunggu,
Tiap Hari? Gila.
Belum lagi degup kencang tiap menerima Whatsapp-nya?
Duuuuh, juga waktu yang aku habiskan berjam dikaca mengecek setelanku?
Apalagi saat lagi menunggu malam dihari keenam untuk memeluknya di motor? (ehem)

November lagi.
Dengan orang yang sama,
si tokoh badboy di novel buatanku.
si laki-laki yang ku tuliskan di semua puisi berbungaku.

Kamis, 19 Mei 2016

Petang di bulan kedua.

Rindu.
Malamku pekat, tanpa kelip bintang.
Apalagi senandung sedih.

Gelap, ku raba kamu.
Sambil berlinang disudut eyelinerku.
Habis mascara menggantung.
Pudar setapak taman,
imajiku terus raba kamu.

Heels dikiri, dan ponsel dikanan.
Sebenarnya telfon terus mencoba mengarah ke kamu, tanpa sadarku.

Tapi

Kau sudah pergi,
Bahkan tanpa pernah ku ucap selamat datang.

Rabu, 18 Mei 2016

Do'a

Untuk tersayang,
Dalam mili detik bukankah kita selalu berdoa? Untuk bersama sampai tak ada sekat antara si petang dan si pagi? Bersama napas, doa itu terus merajuk manja. Dilumat satu kata, seperti 'Cinta' yang ramai di agungkan sang Punjangga, pun kita, hingga tahun keempat ini. Aku fikir, ah umurku masih lima belas pertama dekapmu. Terlalu jauh Tuhan anggukan kepala pada doa kita.

Akupun di enam belas.
Masih dengan doa yang sama, melakukan dosa pada orang yang sama, pula.

Akupun di tujuh belas.
Tuhanku makin dekat. Sebelum napas selesai kuhirup, doa mengiring dua kali. Jelas lebih banyak dibanding tahun-tahun lalu. Dengan orang yang sama, lagi dan lagi. Kami yakin si Cinta tak akan kemana.

Aku beranjak delapan belas.
Poniku masih sama seperti pertama kita dekap, miringnya masih ke kanan. Kulitku masih kumal dan bau ku sekedar bedak bayi. Sambil berdoa, sambil kadang Cinta melayang dengan Ragu merangkak. Sulit rasanya.

Aku di sembilan belas.
Ku pikir, kita hanya tinggal duduk manis saja sampai Tuhan meng-iyakan doaku, doamu. Tapi di dua puluhmu, kita gagal. Ragu jadi yang paling ramai dipuja Pujangga. Rindu yang terlatih menjadi juara, malah tak terlihat. Di sembilan belasku, lupa aku berdoa lagi. Mungkin jua kamu. Tapi masa bodoh. Kita menjadi terurai dan lama tak bertatap.
Aku masih di sembilan belas,
Ketika sepi suka remas-remas logika. Dan cinta paling mengerti, lantunkan lagu tentang Cinta. Sejujurnya hanya satu nama. Tapi logika menolak keras. Tak ada ruang perbincangkan nama yang dulu sering buatku tertawa, gambarkan aku bahagia, sampai aku lupa rasanya perih.
Kamu namanya, waz.
Lagunya makin keras, waz. Yang kukira tak ada ruang, nyatanya seluruh relungku, bernamamu.

Kini, tahun ini, aku dua puluh.
Yang lagi-lagi merintih seorang hamba dengan doanya. Permohonan yang merintih minta digenapkan. Tapi tak jenuh, tuhan, kami candu. Candu seperti pemabuk yang terus melupakanmu. Tapi kami, selalu percaya dan yakin sepenuhnya. Tuhan mungkin tertidur, kalau ia lelah--sepertinya--. Tapi Tuhan kini terbangun dan anggukan kepalanya.


Tuhan anggukan kepalanya. Di dua puluh tahunku. Mungkin waktunya sebentar lagi, sayang. Kita bisa menunggunya dengan mantap. Mungkin di dua pulu satu. (kini waktunya kita mengamini. Semoga masih denganmu)

Rabu, 11 Mei 2016

Pun denganmu

Aku hilang, sayang
Degupku
Ingatanku
Seperti perantau rindukan pulang

Pun aku,

Yang bersandar lagi di dadamu
Sambil meringkuk
Tak ingin lagi memisah,
dengan jarak,
dengan waktu,
pun denganmu