Laman

Sabtu, 19 Mei 2012

Untuk hati yang kubawa entah kemana saja

3:27.
Dan aku masih terjaga seperti bulu yang terkutuk.
Seperti kerdil yang tertunduk menyembunyikan wajah dan duka.
Seperti Semut yang berjalan mundur sambil membopong kedelapan anaknya.
Aku menggebu atas nama pilu.
Aku ngilu ingat kita tempo hari.
Semua indah. Tak terfikir bahkan hari ini terjadi.
Maaf, untuk hati yang tiap malam aku persembahi karangan doa.
Maaf, untuk senyum yang selalu sejukkan terasku.
Kepada kau yang aku lukai,
Kepada kau yang malam ini kecewa berkatku,
Kepada kau yang selalu aku cintai,
Sayat aku saja kalau lukamu karenaku.
Bedah aku saja kalau goresanmu akibat pisauku.
Aku....tak mengapa atas namamu.

Sabtu, 05 Mei 2012

Besitan ketulusanmu dengannya

Aku linglung. Bagai kertas terbakar yang abunya entah kemana, tinggal bergantung pada angin yang membawanya. Aku baik-baik saja walau luka itu menganga lebar memperlihatkan nanah yang mulai menggumpal berlendir. Aku jelas tak mengapa! Percayalah. Lihatkan, senyum itu masih ada tadi pagi? Ya...itu artinya aku tak mengapa!
Aku entah merasa tak mengapa saat ada lagi wangimu dalam satu ruang hampa. Jangankan itu! Mendengar suara magismu memanggilku lewat telfon genggam saja sudah merasa bahwa aku terjauh dari luka. Dan sesungguhnya, setelah kau berlalu--terlintas, aku sangatlemah memandang langit. Tak usah petang! Fajar maupun senja saja tak ada tenaga. Yang terbayang adalah gumpalan awan membentuk namanya dan engkau. Ada saja. Tiap aku menunduk dan menatap langit lagi, ada lagi bayangan dirimu dan dia tertawa. Begitu terus berlanjut belakangan ini. Aku tak tahu apa yang asaku inginkan. Tapi ngilu ini terus ada tanpa mau berpindah kemana-mana.
Barusan, senja malang. Aku melihat seekor sorot matamu kearahku. Dengan datar, kau memalingkan mukamu dan berjalan makin jauh. Akupun ikut memalingkan. Barang kali kau tak melihatku dengan senyum dan lambaian. Aku acuh. Tapi beberapa menit setelahnya, jiwaku memaksa menengok kebelakang. Siapa tahu masih ada kau disana. Menyorot kearahku sambil memamerkan senjata terampuhmu, senyum.
Dan benar saja. Senyummu mengembang kearah seorang wanita jelita yang lebih sempurna dariku. Semua orang tahu itu. Dia jelita yang dicari pujangga cinta untuk inspirasi coret-coretannya. Jangan bandingkan aku dengannya! Aku jelas bukan apa-apa dibanding dia. Senyumnya....Ah! Senyumnya yang melemahkan tiap pandangan itu tertuju padamu.
Aku tak berkutik.
Dengan anggunnya dia sipitkan mata kecilnya dan mengulas garis bibir sangat menawan. Aku lihat dari jarak 20meter dari tempatku berdiri. Tapi aku rasakan debar yang jelas sama pasti dengan debarmu---debarnya.
Aku mengerti apa arti ketulusan. Aku memilikinya, dan kini aku tunjukan kepada seorang yang memberikan ketulusannya kepada hawa lain. Aku jelas tak mengapa. Kau lihatkan tadi pagi tak ada gurat sedikit didahiku? Itu artinya aku baik-baik saja. Aku tahu ketulusan apa yang selama ini kau selipkan padanya. Pada tiap ekor mata yang bergerak ulet mencari dirinya. Aku juga melihatnya. Aku mengerti gerak bola matamu. Aku tahu semuanya----bahkan sebelum kau memberitahunya. Maaf jika aku merasa luka itu menari-nari lagi. Tapi....Ya, silahkan lanjutkan. Aku bukan apa-apamu disini. Aku bukan sosok yang membuatmu mengekorkan pandangan dengan lantang saat kau bersama kekasihmu. Aku bukan sosok yang buat kau tersenyum dan berdebar dalam satu waktu setelah kau mengacuhkan kekasihmu. Itu bukan aku. Jadi silahkan lanjutkan menyusuuri masalalu indahmu, sebelum adanya aku disini.
Berjalan lagi kearahku saat kau telah menyadari bahwa kau membutuhkanku.
Aku menunggu, sungguh!!