Laman

Senin, 24 April 2017

Rindu.

Aku berangkat jam sepuluh pagi ini.
Tidak jalan kaki, ia bukan kesukaanku.
Bukan juga naik becak, jarakku 32kilo.

Hehe, diatas hanya intro.
Keadaan sebenarnya tentang rindu?
Aku berharap melupakannya.
Pura-pura tak merasa, jika bisa.
Tiga puluh lima hari kuhitung.
Rasanya khayal aku melupakannya.
Melupakan hari yang bahkan aku ingat tiap harinya.
Tiap hari, dari pagi hingga malam.
Tiap hari, sehari tapi berhari-hari.
Tanpa henti.



Paragraf selanjutnya mungkin tidak perlu dilanjutkan.
Karena sampai akhir, hanya hitungan hari merindu yang kan kuhitung.
Tiga puluh enam hari

Tiga puluh tujuh hari

Tiga puluh delapan hari

Tiga puluh sembilan hari

Empat puluh hari

Empat puluh satu hari

Empat puluh dua hari

Empat puluh tiga hari

Empat puluh empat hari

Mungkin juga dihari ke-lima puluh?
Juga lima puluh satu?
Dan berakhir dibilangan yang tetap kuhitung.

Karena terkadang,
rindu tak akan habis hanya dengan temu;
Makan di resto ujung jalan,
Atau sekedar minum kopi di kedai berlambang dewi.
Bukan.

Namun terkadang,
Rindu akan habis penasarannya,
dengan kata atau rasa yang sama,
seperti..

                      "Aku juga rindu".

1 komentar:

  1. Kali ini giliran ku yang menghitung.
    Sembilan belas hari telah ku lewati, sejak terakhir kalinya dia mengirimkan pesan kepada ku.
    Agak tergesa-gesa rasanya tiap kali aku mendengar adanya notifikasi email masuk, yang ternyata bukan darinya, bukan juga di inbox icloud ku.
    Meskipun begitu aku tetap sesekali me-refresh kotak masuk ku setiap harinya, tanpa ada satu hari pun terlewatkan.
    Sudah tepat sebulan semenjak aku menabrakkan mobil yang ku pinjam,
    Sejak aku memulai untuk kembali mengejar dia,
    Bahkan aku pernah merasa begitu dekatnya dengan dia,
    Layaknya saling bermaksud satu sama lain.
    Sudah hampir bisa aku menghidupkan cahaya dalam diri ku sepenuhnya.
    Sudah hampir bisa aku membuat dinding-dinding tinggi dalam kehidupan ku.
    Antara semuanya, menjadi pemisah, menjadi makna, yang hanya terhubung oleh benang merah yang begitu tipis, yang merujuk kepada dirinya.. Dan diri ku.
    Dan nyatanya, aku telah kalah dalam permainan yang ku buat sendiri.
    Penyesalan yang tiada henti, setiap malam, dan kegelapan pun semakin bangkit kembali.

    "Aku kalah.. Aku kalah.. Aku kalah.."
    Dengan intonasi yang semakin memudar, hanya kalimat tersebut lah yang ada di pikiran ku setiap malam. Karena untuk pertama kalinya, kali ini aku benar-benar kalah.

    Karena sejujurnya, setiap malam aku menatap bulan, mencoba untuk berbicara kepadanya namun tidak bisa, memikirkan segala rencana untuk menggapainya namun selalu kembali runtuh. Dengan berharap dirinya yang jauh di sana juga tetap mengingat diri ku walaupun tidak sering.

    Beratapkan awan dan langit Jayapura, aku menatap bulan, ditemani 25.2, aku selalu menunggu di halaman sastrakiita.
    Mungkinkah dia juga sedang menghitung hari lagi, ataukah kembali menuliskan nama ku di langit-langit kamarnya, dan kembali merindu. Atau mungkin dia telah menutup semua buku dan menguburnya walau tidak begitu dalam karena dia terlalu lelah membacanya.
    Karena sebenarnya aku paham apa yang dia rasakan.
    Karena pada pagi hari ke dua puluh satu nanti aku akan menatap jendela kamarnya.
    Sedikit melepas rindu, yang nyatanya semakin parah.
    Karena semenjak kita berbincang di kedai kopi berlambang dewi itu, aku tidak pernah "off", dan tidak ada lagi "the one" yang lain.

    BalasHapus