Laman

Sabtu, 12 Maret 2011

"Ma, Pa! Jangan sakiti aku lagi"

“Maafin mamah ya sayang”. Bisik mama sambil merangkulku hangat dan penuh kasih disela sungkeman, tradisi warisan nenek moyang. Jarang sekali kami berkumpul seperti ini, merasa nyaman dan aku ingin masa akan terus begini. Sayangnya tidak mungkin!  Ah, kapan aku terakhir kali merasakannya? Hampir 3 tahun lalu, sebelum Ayah memberikan talak kepada mamah. Saat Aku, Ira, Ayah, dan Mama masih berada didalam satu rumah. Dan kami masih merayakan Hari Raya bersama, dalam suatu ruangan dan tidak terpisah. Bukan seperti saat ini! Ini buruk! Sangat buruk dan tidak seperti yang pernah ada didalam bunga tidurku!
            Aku jadi ingat saat-saat itu! Ketika pertengkaran terjadi, aku dan Ira selalu mendengarnya dari balik selimut. Ira saat itu masih berumur 4 tahun, ia masih belum mengerti apa-apa. Yang ia lakukan hanya meraung dan berteriak memanggil Mama saat Ayah berulang kali memukul Mama. Aku hanya berpura-pura kuat dan menarik Ira ke kamar. Aku peluk Ira erat disela isaknya, aku lingkarkan selimut dibadan mungilnya. Aku bernyanyi sebuah lagu anak-anak hingga Ira lelah terisak dan tertidur di pelukanku. Aku rebahkan kepalanya dibantal, mukanya sembab dan memerah, berulang kali Ira mengigau hingga bangun dari tempatnya. Aku memperhatikan apa yang Ira katakan disaat alam bawah sadarnya berbicara diwajah imutnya yang masih memerah dan bengkak dikantung matanya. “mama jangan tinggalin ila ya mah.. ila engga mau dilumah shendhilian mah.. ila engga mau liat mama dipukul-pukul ayah agi mah”. Aku tersenyum kecut dan menahan air mataku jatuh, jangan sampai aku mengangis seperti Ira. Tapi semakin aku menahannya, rasa ngilu itu semakin meluap dan aku ternyata lebih lemah dari Ira. Aku menangis dan berteriak sekencang-kencangnya tanpa suara, tubuhku meringkuk disebelah tubuh Ira yang kembali rebah dikasur. Aku tahu ini memang salah Mama, membiarkan rekan kerjanya mengunjungi rumah kami disaat Ayah sedang menjalani tugas dinas ke luar kota selama beberapa hari. Dan ternyata tetangga kami melihat itu, ketika ayah sedang tugas dinas, mamah seringkali mempersilahkan rekan kerja laki-lakinya itu masuk kedalam rumah hingga hari selanjutnya. Akhirnya tetangga kami melaporkannya ke ketua RT dan saat Ayah selesai tugas dinas, ketua RT kami menceritakan keluh kesah warganya. Dan Ayah meluapkan kekesalannya saat Mama hendak pergi kerja keesokan harinya dan pertengkaran pun terus terjadi semenjak hari itu.
            sayang, maafin mamah yaa. Mamah dulu khilaf, nak”. Kembali mama berbisik kepadaku sambil menangis dan aku masih dalam pelukannya. “Apa katanya? Khilaf? Aaaah kenapa baru menyadari sekarang? Lalu dulu kemana? Kemana? Oh iya, mama dulu pergi dengan keegoisannya!” Hatiku menangis Andai mama tahu bagaimana rasanya menjadi aku dan Ira pada malam terakhir pertengkaran pahit itu. Saat Ia dengan lantangnya menerima talak dari ayah. Dan Ayah segera mengurus perceraian itu secepat mungkin tanpa membicarakannya dulu denganku dan Ira. Malam itu juga, Mama mengemas barang dan pergi ke rumah Eyang. Begitu juga dengan Ayah, pergi ke apartemennya. Bedanya, Ayah tidak mengemas barang. Tapi ada satu persamaannya! Mereka tidak ada yang berpamitan kepadaku dan Ira! Mereka hanya menyisakan pintu garasi yang masih terbuka dan beling gelas yang masih berserakan diruang tamu. Mengaggumkan sekali! Aku ingin sekali bertepuk tangan di depan mereka atas sifat mereka yang teralu dewasa! Mereka orang tua yang teralu hebat untukku!
            Aku masih mematung sembari dipeluk Mama. Aku sangat bahagia, kini ada Ayah, Ira, dan Mamah di rumah lama kami. Sayangnya, kejadian itu masih membekas dihati. Entah apa yang mendorong mereka untuk mengumpulkan keluarga rapuh ini, yang jelas tadi aku melihat Ayah dan Mama berbincang-bincang dari sebelum sholat Idul Fitri. Eyang uti dan Abah juga ada disini. Aku tak perduli apa yang akan terjadi nanti terhadap keluarga rapuh ini, aku ingin cepat-cepat pergi dari sini. Keadaan ini memang apa seperti apa yang aku inginkan selama 3 tahun belakangan. Tapi keadaan seperti ini juga yang aku benci! Aku harus mengingat kenangan yang seharusnya benar-benar pergi, agar aku dapat memulai hidup dari awal lagi. Tapi terlambat! Semua kenangan itu harus terpaksa terus berputar dibenakku.
            “Sayang......” Ujar mama disela tangisnya, Ia melepas pelukannya pelan-pelan. Dan menatapku, aku ingin segera berterimakasih kepadanya berkat semua yang telah Ia lakukan kepada kami. “Mama bener-bener minta maaf sayang, maafin mama yaa......” Lanjutnya lagi. Kemudian Ia terisak lagi, “mama yang salah selama ini sayang.......” Aku memalingkan mukaku “memang salah mama! Semua salah mama! Biarin aku sama Ira terlantar! Mama seneng kan lakuin itu semua tanpa tahu gimana rasanya jadi aku! Sakit maaaaaa! Andai Mama tahu juga gimana keadaan aku sama Ira saat Mama dan Ayah pergi dari rumah? Tiap Ira bangun selalu nanya mamah udah pulang atau belum! Terus aku dan Ira nunggu mamah sama ayah diteras! Berharap kalian pulang. Sampai siang kita tetep diteras maa! Dan kita engga mungkin makan sebelum siang-siang tetangga ngirim makanan buat kita. Tiap malam juga Ira engga akan mau tidur, nunggu mama katanya. Sampai tiga bulan kemudian, budhe dateng ke rumah. Budhe ajak Ira kerumahnya, katanya Ira suruh main kesana. Ira nangis katanya mau nunggu Mama dateng dulu. Sampai empat hari, Ira akhirnya mau kerumah Budhe. Budhe ninggalin aku uang, rutin sebulan sekali katanya. Aku sendiri di rumah ma! SENDIRIAN! Aku tahu aku anak SMA kelas sepuluh yang udah dewasa, tapi sampai sekarang aku kelas sebelas, aku masih engga ngerti semuanya! Sama yang Allah rencanain buat keluarga kita, lebih tepatnya keluarga rapuh kita. Tiga bulan aku kelas sepuluh dan engga ada seorangpun keluarga yang bisa terima keluh kesahku disekolah. Nilaiku berantakan ma! Disekolah kerjaanku cuma tidur! Aku engga perduli apa yang guru bilang nanti! Toh buat apa aku sekolah tinggi-tinggi kalo aku engga punya alasan untuk ngebanggain seseorang. Aku capek dengan keadaan saat itu ma!” teriak batinku, air mata itu keluar dari sudut mataku dan jatuh dilengan mama. “mama sangat minta maaf ya, mama tahu kamu sakit hati saat itu. Tapi mama percaya kamu engga mungkin terpuruk sayang.” Senyum mengembang dibibirnya. Senyum ikhlas yang selalu ada dibibirnya tiap aku pamit berangkat sekolah, dulu. Aku merindukannya! Sangat merindukannya! “Tadi apa katanya? Aku engga terpuruk? Hahahahahahha mama salah besar! Mama tahu? Aku pernah tinggal kelas? Pasti engga tahu ya? Ma, aku tinggal kelas loh pas kenaikan kelas sebelas! Saat itu yang aku rasakan bukan terpuruk lagi! Bahkan rasanya aku berada dibawah timbunan arang yang siap di bakar dengan spiritus! Aku hancur! Aku kehilangan kendali diriku! Aku bermain dengan teman laki-lakiku, aku mencoba banyak hal yang mereka lakukan. Apa saja ma! merokok di sudut kantin, dikelas-kelas kosong, diwarung-warung, bahkan di rumahpun aku lakukan! Aku ikut balapan liar saat larut malam! Aku mencoba meminum minuman beralkohol seperti mereka. Aku melakukan semua yang ingin aku lakukan! Toh tidak akan ada yang perduli! Mama peduli?......”
            Saat itu juga, Ayah menghampiri kami. Aku masih mematung ditempatku. Ayah menarik punggungku dan kami bertiga berpelukan. Aku masih belum mengerti maksud semua ini! Kakiku benar-benar lemas. Dalam hitungan detik, aku hampir terjatuh. Sebelum kata-kata Ayah selanjutnya membuat langit runtuh dan semua disekitarku menjadi partikel-partikel terkecil sejagad! “mama sama ayah rujuk, sayang.” Bisik ayah sambil melepaskan pelukannya dan menatapku. Muka Ayah memerah, aku baru melihat mimiknya seperti itu lagi, setelah sebelumnya Ayah pernah memasang mimik seperti itu saat aku menang olimpiade fisika SMP lalu. Aku akui, ini yang aku inginkan saat harus mengingat kenangan pahit itu. “huuuuuuuuuuh.” Aku buang nafas. Aku menghirup udara lagi, aku mencari oksigen, aku mencari pertahanan tubuhku yang hampir hilang. “talak itu dicabut, sayang. Selama dua tahun ini status kami masih suami istri dan kami belum benar-benar melakukan talak.” Aku hampir menangis, aku tahan! Aku ingin kuat didepan mereka! Pura-pura kuat lebih tepatnya!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar