Laman

Sabtu, 03 September 2011

cerita tentangmu

Aku menulis lagi,
Bagian tentangmu yang hilang sedikit demi sedikit. Berharap cahaya aurora tetap menyimpannya meski semua nyatanya jauh dari masa depan yang akan aku lewati. Ini mimpi yang aku bentuk dengan magnet egoku. Aku sungguh tak menginginkannya masuk lagi, teralun lagi dalam simfoni dibawah mata yang merapat. Tapi apa daya, cerita itu muncul lagi, lagi-lagi muncul..

'Septa hardini' teriak Bu Vera mengabsenku. Aku angkat tangan. Lalu rebahan lagi di meja kelas. Malas.
'Sudiro Cahyo Fauzan' lagi-lagi Bu Vera mengabsen. Yang punya nama angkat tangan tanpa menoleh sedikit ke Bu Vera. Cahyo sedang bermain pensil dengan teman belakang bangkunya. Ini minggu kedua kelas biologi. Jadi bebas saja mau berbuat apa. Jadwal kelas Biologi kelas kami memang sangat kacau. Minggu pertama di Lab. Minggu kedua dikelas, setelah Bu Vera absen, dia langsung pergi lagi mengajar di Universitas Ahmad Yani. Menjadi dosen teknik mesin. Lalu minggu ke tiga dan keempat kembali lagi ke Lab untuk praktek. Semenjak perubahan jadwal, kelas kami tak lagi mendapat kelas Biologi teori. Padahal apa gunanya praktek kalau teori yang dasar saja tidak tahu. Jadilah hanya kelas kami yang buta benda saat kelas Biologi di Lab berlangsung. Bu Vera sampai kewalahan saat beliau menyuruh murid untuk mengambil termometer air dan udara. Beliau harus menerangkan dulu dikit demi sedikit teori yang seharusnya diajarkan saat jam praktek.
Aku lirik Cahyo sekali lagi. Masih berkutat dengan pensil kesayangan miliknya. Dia memang selalu menang saat permainan bodoh itu. Aku lupa namanya, Cahyo pernah cerita. Tapi aku lupa. Ini kamis yang sangat terang. Sedikit mendung hingga terik enggan berkerja dengan baik. Jadi aku memutuskan keluar kelas dan berjalan ke kantin sekolah, sendiri. Aku malas berteman dengan teman perempuan kelasku ini. Mereka senang membicarakan boyband yang akupun tak pernah dengar sedikitpun nama personilnya. Dan berkumpul dengan mereka adalah mimpi burukku.
Aku berjalan sendiri ke kantin sekolah. Berjalan menunduk sambil menendang-nendang kerikil kecil yang menghalangi jalanku. Ini hari kedua hari Raya Idul Fitri, baju yang kami kenakan berbeda-beda tiap kelasnya. Kelas XI IPA2 tahun ini memakai baju warna hijau tosca bebas. Ah aku jadi ingat Cahyo! Penampilannya hari ini sangat tampan. Memang tampan sekali dari dulu. Itu salah satu alasan aku menyayanginya seperti ini. Kantin masih sepi karena jam pelajaran belum berakhir. Aku membeli jajanan dan duduk sendiri dipojokan kantin, menunduk. Memperhatikan jajanan yang ku pegang. Aku tak lapar. Tapi entah mengapa hatiku sangat risau sekali siang ini. Melihat Cahyo tertawa lepas dengan teman-temannya membuat beban yang sangat mendalam. Ada apa pun aku tak tahu dan aku benar-benar tak mau tahu. Sembari menatap lekat-lekat jajanan yang aku makan, dibalik jajanan tersebut, terlihat sepasang sepatu hitam-putih yang sangat aku kenal bentuknya. Terlihat sedikit tak jelas dan sedikit buyar. Aku mendongak. Cahyo menyengir memperlihatkan muka lugunya. 'Ngapain nge-galau buuuu?' 'ga.' Bola dari lapangan mendekat ke arahnya dan Cahyo sedikit berlari sembari menendang bola ke arah lapangan. Aku ditinggalnya sendirian.
Bel pelajaran terakhir. Fisika.
Aku duduk bersama Suci, anak terpintar satu angkatan. Meminta ia mengajariku sederet soal fisika yang genap dua kali aku ulang ulanganku yang mendapat nilai tak luput dibawah rata-rata. Hampir satu jam berlalu, masih dengan suci dan masih dengan satu soal yang sedari tadi Suci ulang berkali-kali menjelaskanku. Hatiku tak lagi ada di soal itu, coretan Suci, Kata-kata Suci. Buyar. Aku rebahkan kepalaku diatas meja. memandang kurus kedepan. Cahyo. Dia tersenyum kearahku, lalu kembali lagi menjagari Ila soal fisika. Cahyo memang pakar Fisika sedunia. Ada yang aneh di senyumnya. Ada yang aneh rasanya tiap aku melihatnya. Dia satu ruang denganku. Didekatku. Merasa atmosfer yang sama sepertiku. Tapi rasanya dia jauh.. Tak lagi bisa aku gapai. Senyumnya terasa tidak terarah padaku.

Dan.. saat aku tersadar,
Aku menyadari betapa hinanya aku dikendalikan alam bawah sadarku. Bodoh!
Terpikat dengan hal fana yang sebenarnya tak boleh lagi singgah dihati perihku. Tentang kamu, tentang kita, tentang cinta yang merusak grafitasi bumi. Aku tahu kini rasa aneh apa yang hinggap tiap melihat matanya. Perih. Iya benar Ia tersenyum, tapi senyumnya bukan untukku. Iya, memang benar dia didekatku tapi rasanya terpisah jarak yang sangat jauh. Aku seharusnya sudah terima kenyataan yang sesungguhnya lebih pahit daripada mimpi yang sedetik lagi terlupa...
Dia tak lagi bernafas untukku.
Kita sudah berbeda sejak awal dan kami telah terpisahkan.
Aku harusnya sadar itu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar